21. Terlalu Banyak Larangan
Ini
adalah kebalikan dari kebiasaan di atas. Bila Kita termasuk orang tua
yang berkombinasi Melankolis dan Koleris, kita mesti berhati2 karena
biasanya kombinasi ini menghasilkan jenis orang tua yang
“Perfectionist”. Orang tua jenis ini cenderung ingin menjadikan anak
kita seperti apa yang kita inginkan secara SEMPURNA, kita cenderung
membentuk anak kita sesuai dengan keinginan kita; anak kita harus begini
tidak boleh begitu; dilarang melakukan ini dan itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan
cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti
diri (jika anak kita tipe sensitive) atau dengan perlawanan tersembunyi
(jika anak kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita
tipe ekspresif keras). Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis
kita, Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan
positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa melihat dan
memahami sudut pandang orang lain. Bangunlah situasi saling mempercayai
antara anak dan kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan
meminta pertimbangan pada pasangan kita. Gunakan kesepakatan2 untuk
memberikan batas yang lebih baik. Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9
malam harus sudah tiba di rumah. Jika kemungkinan pulang terlambat,
segera beri tahu Ayah/Bunda.
22. Terlalu Cepat Menyimpulkan
Ini
adalah gejala lanjutan jika kita sebagai orang tua yang mempunyai
kebiasaan menjadi pendengar yang buruk. Kita cenderung memotong
pembicaraan pada saat anak kita sedang memberi penjelasan, dan segera
menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak
kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan bahan seandainya
benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.
Seperti contoh anak yang pulang terlambat.
Pada saat anak kita pulag terlambat dan hendak menjelaskan penyebabnya,
kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan, “Sudah! Nggak pake banyak
alesan.” Atau “Ah, Ayah/Bunda tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi
kan?!”.
Jika kita melakukan kebiasaan ini terus
menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST 001 [alias Sok Tau
Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Lalu
mereka tidak mau bercerita atau berbicara lagi, dan akibat selanjutnya
sang anak akan benar benar melakukan hal hal yang kita tuduhkan padanya.
Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan pada tahapan terburuk,
dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya. Pernahkah anda
mengalami hal ini?
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan
mengambil kesimpulan terlalu dini. Tak seorang pun yang suka bila
pembicaraannya dipotong, apalagi ceritanya disimpulkan oleh orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil
memberikan tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya kita akan diminta
bicara, tentunya setelah anak kita selesai dengan ceritanya. Bila anak
sudah membuka pertanyaan, “menurut Ayah/Bunda bagaimana?” artinya ia
sudah siap untuk mendengarkan penuturan atau komentar kita.
23. Mengungkit kesalahan masa lalu
Kebiasan
menjadi pendengar yang buruk dan terlalu cepat menyimpulkan akan
dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan hati anak kita,
yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak
kita. Contohnya, “Tuh kan Ayah/Bunda bilang apa? Kamu tidak pernah mau
dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua
ngomong. Dasar kamu emang anak bodo sih.”
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian
masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah
sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya
sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak ingin anak berperilaku
buruk lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan
tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia
mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti
“manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran
berharga buat kamu”, atau “Ayah/Bunda bangga kamu bisa menemukan hikmah
positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita lakukan, maka selanjutnya
dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba dan buktikanlah!.
24. Suka Membandingkan
Hal
yang paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan dengan orang
lain. Bila kita sedang berada di suatu acara dan bertemu dengan orang
yang berpakaian hampir sama atau berwarna sama, kita merasa tidak nyaman
untuk berdekatan. Apalagi jiak disbanding bandingkan [FTR, saya tidak
merasa seperti ini lho!]
Secara psikologis, kita sangat tdiak suka
bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat sifat kita
dibandingkan dengan orang lain. Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat
ada orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?
Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah
kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya. Misal membandingkan
anak yang malas dengan yang rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus.
Anak yang cekatan dengan anak yang lamban. Terutama juga anak yang
mendapat nilai tinggi di sekolah dengan anak yang nilainya rendah.
Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti, “Coba kamu mau rajin
belajar kayak adik mu, maka pasti nilai kamu tidak seperti ini!”.
Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini,
maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin
tidak menukai kita. anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan si
pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tiap manusia terlahir dengan karakter dan
sifat yang unik. Maka jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang
lainnya. Catatlah perubahan perilaku masing masing anak. Jika ingin
membandingkan, bandingkanlah dengan perilaku mereka di masa lalu,
ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin mereka capai. Misalnya, “Eh,
biasanya anak Ayah/Bunda suka merapikan tempat tidur, kenapa hari ini
nggak ya?”
25. Paling benar dan paling tahu segalanya
Egosentris
adalah masa alamiah yang terjadi pada anak usia 1-3 tahun. Usia
tersebut adalah masa ketika anak merasa paling benar dan memaksakan
kehendaknya. Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan masih
banyak dimiliki oleh para orang tua. Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu
ini anak bau kencur, tau apa kamu soal hidup.” Atau, “kamu tau nggak,
kalo Ayah/Bunda ini sudah banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak
pake kamu nasehatin Ayah/Bunda!”.
Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini,
maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu.
Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas kita di depan
anak, tapi yang ditangkap anak adalah semacam kesombongan yang luar
biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasehat orang
yang sombong.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Seringkali usia dijadikan acuan tentang
banyaknya pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini
bisa jadi benar, namun untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi.
Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan
kegiatan, maka dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang
paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang
datang dari anak kita.
26. Saling melempar tanggung jawab
Mendidik
anak terutama menjadi tanggung jawab orang tua, yaitu ayah dan ibu.
Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung jawab, maka proses
pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil. Celakanya
lagi, bila orang tua sudah mulai merasakan dampak perlawanan dari anak
anaknya, yang sering terjadi malah saling menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu
emang nggak becus ngedidik anak”, dan kemudian dibalas “enak aja lo
ngomong begitu, nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!”. Jika cara
ini yang dipertahankan di keluarga, akankah menyelesaikan masalah?
Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang akan menuai hasilnya,
sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan karena
kesalahannya, tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang tuanya.
Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan. Ambillah
tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang.keberhasilan
pendidikan ada di tangan orang tua. Pendidikan adalah kerja sama tim, da
bukan individu. Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua orang sama
sama memiliki waktu 24 jam sehari, jadi aturlah waktu kita dengan
berbagai macam cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27. Kakak harus selalu mengalah
Di
negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang lebih tua harus selalu
mengalah pada saudaranya yang lebih muda. Tampaknya hal itu sudah
menjadi budaya. Tapi sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana
prinsip keadilannya?
Ada satu contoh nyata seperti berikut:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama
Dita dan adik bernama Rafiq. Neneknya selaku pengasuh utama selalu
memarahi Dita ketika Rafiq menangis. Tanpa mengetahui duduk persoalan
serta siapa yang salah dan benar, si Nenek selalu membela si adik dan
melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar
kok tidak mau mengalah ama adiknya.” Begitulah ucapan yang keluar dari
mulut si Nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi
anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci
adiknya. Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas ketidak adilan
ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin sering
bertengkar. Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi makin egois
dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan
memberaontak. Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil yang
lalim di tengah keluarga ini.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Anak harus diajari untuk memahami nilai
benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah dia lebih muda
atau lebih tua. Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks usia. Benar
selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia pelakunya.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi
secara lengkap sebelum mengambil keputusan. Jelaskan nilai benar dan
salah pada masing masing anak, buat aturan main yang jelas yang mudah
dipahami oleh anak anak anda.
28. Menghukum secara fisik
Dalam
kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh perilaku anak, dimulai
dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan fisik yang
menyakiti anak.
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita
telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka
menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif. Perhatikan jika
mereka bergaul dengan teman sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan
meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang suka memukul temannya
pada umumnya adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman
fisik kepada anak, mencubit, memukul, atau menampar bahkan ada juga
yang pakai alat seperti cambuk, sabuk, rotan, atau sabetan.
Gunakanlah kata kata dan dialog, dan jika
cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita. Temukanlah
jenis kebiasaan yang keliru yang selama ini telah kita lakukan dan
menyebabkan anak kita berperilaku seperti ini.
29. Menunda atau membatalkan hukuman
Kita
semua tahu bahaya yang luar biasa dari merokok, mulai dari kanker,
impotensi, sampai gangguan kehamilan dan janin. Tapi mengapa masih
banyak yang tidak peduli dan tetap membandel untuk terus menjadi ahli
hisap? Jelas karena akibat dari rokok itu terjadi kemudian dan bukan
seketika itu juga.
Begitu juga dengan anak kita. Jika anda
menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku
buruk, jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda, atau bahkan
membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah terjadi kesepakatan antara kita
dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan
dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek, kita ingatkan kembali
pada kepadanya tentang kesepakatan yang kita buat bersama. Anak biasanya
akan berhenti merengek. Namun sayangnya kietika anak berhenti merengek ,
kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau
bahkan membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa
akibatnya? Anak akan mempunya anggapan bahwa kita hanya omong doang,
maka mereka akan mempunya tendensi untuk melanggar kesepakatan karena
hukuman tidak dilaksanakan.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jila kita sudah mempunyai kesepakatan dan
anak melanggarnya, maka sanksi harus dilaksanakan, jika kita kasihan,
kita bisa mengurangi sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat
fisik, tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka seperti jam
bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.
30. Terpancing Emosi
Jika ada keinginannya yang tidak terpenhi
anak sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling dsb, dengan
tujuan memancing emosi kita yang apda kahirnya kita marah atau malah
mengalah. Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan merasa menang,
dan merasa bisa megendalikan orang tuanya. Anak akan terus berusaha
mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih
besar la gi.
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara, dan
tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita. Bila anak menangis
katakan padanya bahwa tangisannya tidak akan mengubah keputusan kita.
Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa
kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak
berulah lagi. Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan aksi diam.
Cukup tatap dengan mata pada anak kita yang berulah, hingga ia berhenti
berulah, Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30 menit tabahlah
untuk melakukannya. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang
memperhatikan kita; dan jangan pula ada orang lain yang berusaha
menolong anak kita yang sedang berulah tadi… SEKALI KITA BERHASIL
MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH, MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI
UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. Menghukum Anak Saat Kita Marah
Hal
yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat adalah jangan pernah
memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika emosi kita
sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar
dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung
menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadin
tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa
mendendam pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar
batas.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bila
kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara
yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
Saat
marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2nya pada anak
kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari
anak kita, sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan
anak supaya ia memahami perilaku buruknya. Setelah emosi reda, barulah
kita memberikan hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan
yang diperbuat. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan
menyakiti. Pilihlah bentuk sanksi atau hukuman yang mengurangi aktivitas
yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, atau bermain
sepeda.
32. Mengejek
Orang
tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali secara tidak sadar telah
membuat anak menjadi kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk
tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya
kesal atau malu. Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada kita dan
yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa? Karena ia
menganggap kita juga seperti teman2nya yang suka menggodanya,
Apa yang seharusnya kita lakukan?
Jika ingin bercanda dengan anak kita,
pilihlan materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau yang
merendahkan dirinya. Akan jauh lebih baik jika seolah-olah kitalah yang
jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap aka n menghormati kita
sesudah acara canda selesai. Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang
bisa membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya? Lihat ekspresi
anak kita. Apakah kesal dan meminta kita segera menghentikannya? Bila
ya, segeralah hentikan dan jika perlu meminta maaflah atas kejadian yang
baru terjadi. Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya dan
kita berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
33. Menyindir
Terkadang
karena saking marahnya orang tua sering mengungkapkannya dengan kata2
singkat yang pedas dengan maksud menyindir, seperti, “Tumben hari gini
sudah pulang”, atau “Sering2 aja pulang malem!” atau”Memang kamu pikir
Bunda/Ayah in satpam yang jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita
menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia
semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti
hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Katakanlah secara langsung apa yang kita
inginkan dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan, memojokkan
bahkan menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Ayah/Bunda khawatir
akan keselamatan kamu lho kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan
sejenisnya.
34. Memberi julukan yang buruk
Kebiasaan
memberikan julukan yang buruk pada anak bisa mengakibatkan rasa rendah
diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga perlawanan. Adakalanya
anak ingin membuktikan kehebatan julukan atau gelar tersebut pada orang
tuanya.
Solusinya
Mengganti julukan buruk dengan yang baik,
seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana. Jika tidak bisa
menemukannya cukup dengan panggil dengan nama kesukaannya saja
35. Mengumpan Anak yang Rewel
Pada
saat anak marah, merengek atau menangis, meminta sesuatu de ngan
memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada hal atau barang
lain. Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek lagi. Namun yang
terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi. Contohnya,
anak menangis karena ia minta dibelikan mainan, Kemudian kita berusaha
membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan perhatiannya seperti, ” Tuh
lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…”atau” Lihat ini lihat,
gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang
fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan
emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Anak kita pada umumnya adalah
anak yang cerdas. ia tidak ingin dialihkan ke hal lain jika masalah ini
belum ada kata sepakat penyelesaiannya. Semakin kita berusaha
mengalihkan ke hal lain, semakin marah lah anak kita.
Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan apa yang diinginkan oleh anak
kita dengan membicarakannya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita
belum sempat membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa
yang kita inginkan terhadap permintaan anak tesebut, seperti “Ayah/Bunda
belum bisa membelikan mainan itu saat ini. Jika kamu mau harus menabung
lebih dahulu. Nanti Ayah/Bunda ajari cara menabung. Bila kamu terus
merengak kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang.” Jika kalimat
ini yang kita katakan dan anak kita tetap merengek, segeralah kita
pulang meski urusan belanja belum selesai, Untuk urusan belanja kita
masih bisa menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik
anak.
36. Televisi sebagai agen Pendidikan Anak
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
- berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita atau TV?
- oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita atau ketepatan wakyu program2 TV?
- oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih menyenangkan?
- oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
Apa yang seharusnya kita lakukan?
- Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
- Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak2nya.
- Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
37. Mengajari Anak untuk Membalas
Sebagian
anak ada yang memiliki kecenderungan suka memukul dan sebagian lagi
menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima pukulan dari rekan
sebayanya. Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat anak kita
disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya. Hal ini secara
tidak langsung mengajari anak balas dendam. Sebab pada saat itu emosi
anak sedang sensitif dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas.
Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang
kita sampaikan kepadanya.
Apa yang sebaiknya kita lakukan?:
a. mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman yang suka menyakiti.
b. Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
c. ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
0 comments:
Post a Comment