Mengutip sedikit dari postingan di fb Komunitas Ayah Edy
Pernah punya kipas angin dirumah...? Adakah kipas angin yg masih masih utuh bekerja sempurna dirumah...? Berapa kali sudah ganti kipas tapi tidak pernah bisa bertahan lama...?
Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa masa kanak2 adalah masa yg paling banyak merusak barang2 dirumah, hal ini sebenarnya mencerminkan otak anak2 yg masih orisinil dan aktif untuk mengetahui apa saja yg dia lihat dan mengekplorasi cara kerjanya setiap benda yg bergerak (elektronik), hanya sayangnya dia tidak tahu caranya atau kita lupa mengajarkan cara yg benar padanya untuk menggunakan alat tersebut.
Menghadapi hal ini kebanyakan orang tua malah memarahi atau melarang anaknya untuk menyentuh barang2 yg ada dirumah. Alhasil anak jadi makin penasaran dan tetap saja merusak barang yang akhirnya akan membuat kita jadi lebih sering marah dan stress dibuatnya.
Selain itu kebanyakan orang tua juga malah merahasiakan cara penggunaan perabot rumah tangga yg ada semisal Kipas Angin agar tidak digunakan oleh anaknya. Hasilnya ? tentu saja tinggal menunggu waktu, kapan kita lengah maka benda tersebut akan habis di "Eksplorasi" oleh anak kita. Seperti seorang tukang reparasi kecil yg memiliki semboyan "Terima Bongkar - Tapi tidak terima pasang"
Pasti banyak di antara teman-teman yang merasa cerita di atas "gue banget". Sama. Vino di usianya yang 2,5 thn ini juga menunjukkan sikap ingin melakukannya sendiri. Curiousity tinggi. Jadi daripada capek melarang, sudah mulai kuajari dengan self help sederhana. Misalnya bikin susu sendiri. Kuajari cara penggunaan dispenser (sekalian dengan bahasa inggris). Tombol yang red untuk hot water, yang blue untuk cold water. Dulunya pernah asal pencet tombol merah dan alhasil kena air panas, untung tidak takut mencoba, mungkin karena sering nonton CD Baby Brain ya. Di situ ada pengenalan untuk hot and cold water. Jadi, yang isi air panas aku, yang isi air biasa Vino (ini kadang-kadang dibuat mainan...so jadi becek gitu lhoo >.<) Menuang susu bubuk sendiri dengan sendok susu, sekalian latihan menghitung (masih sering ngaco). Belepotan atau tumpah memang kadang bikin kesal, tapi tidak apa, tidak perlu dimarahi supaya dia tetap berani mencoba. Usaha anak untuk mencoba perlu dihargai, tidak hanya hasil akhir.
Demikian juga dengan penggunaan remote TV/DVD, buka tutup pintu, cuci tangan, siram tanaman, turun dari mobil, membuka/mengenakan celana (sudah bisa buka celana, tapi celana karet), membuka/mengenakan baju (kaos). Meskipun belum sempurna, tapi setidaknya kita dorong niatnya untuk mandiri. Kuncinya ya harus extra sabar dan telaten karena kadang malah dibuat mainan, waktu diajari tertarik objek lain, atau anaknya sendiri marah-marah karena tidak bisa. Jujur saja, sering juga aku kurang konsisten, dalam arti kalau lagi buru-buru ya dipakein baju, kalau lelet diomeli. Rencananya mau kuajari pakai baju berkancing. Sudah siap-siap beli kancing baju warna warni yang agak besar. Tinggal bikin 'baju-bajuan'.
Secara umum
kemandirian bisa diukur melalui bagaimana anak bertingkah laku secara
fisik. Namun, tidak hanya itu, kemandirian juga bisa berwujud pada
perilaku emosional dan sosialnya. Contoh sederhana, anak usia 3-4 tahun
yang sudah bisa menggunakan alat makan, seharusnya bisa makan sendiri,
ini adalah bentuk kemandirian secara fisik. Anak yang bisa masuk ke
kelas dengan nyaman karena mampu mengontrol dirinya adalah bentuk
kemandirian emosional. Contoh kemandirian sosial yaitu apabila anak
mampu berhubungan dengan orang lain secara independen sebagai individu,
dan tidak selalu hanya berinteraksi dengan orang tua atau pengasuhnya.
Sebenarnya,
sejak usia dini naluri setiap anak sudah menunjukkan perilaku dasar
mandiri. Misalnya, pada saat masih bayi, mereka belajar untuk tengkurap,
merangkak, berdiri, dan berjalan sendiri. Dalam masa itu mereka
berusaha sekuat tenaga untuk bisa walaupun sering gagal dan menangis.
Hal itu merupakan perilaku adaptif sesuai dengan usia anak untuk menjadi
manusia yang mandiri. Hanya saja, sering kali lingkungan kurang tanggap
dan kondusif terhadap proses menuju kemandirian ini sehingga anak
mendapat perlakuan yang salah. Misalnya, acap kali orang tua merasa
tidak tega atau kurang sabar melihat si kecil yang berusaha menautkan
tali sepatunya selama beberapa saat, namun belum juga berhasil, lalu
segera membantu menyelesaikan masalah tersebut. Tanpa disadari bahwa
sikap semacam ini menghentikan proses menuju kemandirian yang sedang
diperjuangkan sang anak. Akibatnya, anak akan terbiasa mencari orang
tuanya apabila menghadapi persoalan, dan mulai tergantung pada orang
lain, untuk hal-hal yang kecil sekalipun.
Anak-anak yang
tidak mandiri akan memberi pengaruh negatif terhadap perkembangan
kepribadiannya sendiri. Apabila hal ini tidak segera diatasi, anak akan
mengalami kesulitan pada perkembangan selanjutnya. Anak akan mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Terlebih, anak
yang tidak mandiri juga akan menyusahkan orang lain.
Anak-anak yang
tidak mandiri cenderung tidak percaya diri dan tidak mampu mengambil
keputusan dengan baik. Sedangkan bentuk ketergantungan kepada orang lain
dapat berupa; misalnya mulai dari persiapan berangkat sekolah, ketika
di lingkungan sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, sampai dalam pola
belajarnya. Dalam persiapan berangkat sekolah, misalnya, anak selalu
ingin dimandikan orang lain, dibantu berpakaian, minta disuapi,
disiapkan buku dan peralatan sekolah oleh orang lain, termasuk harus
selalu diantar ke sekolah. Ketika belajar di rumah, mereka mungkin mau,
asalkan semua dilayani; misalnya anak akan menyuruh orang lain untuk
mengambilkan pensil, buku, serutan dan sebagainya.
Beberapa hal umum yang perlu dihindari agar proses menuju kemandirian anak dapat berlangsung sesuai yang kita harapkan adalah:
Kekhawatiran yang berlebihan terhadap anak.
Saat anak ingin
memegang gelas, sendok, atau peralatan makan, sebenarnya sudah menjadi
petunjuk gejala mandiri. Sayangnya, orangtua atau pengasuh kadangkala
suka melarang anak melakukan hal tersebut. Banyak alasan atas larangan
itu, misalnya, karena khawatir benda yang dipegang anak akan jatuh.
Tanpa disadari, larangan itu justru menghambat kesempatan anak untuk
belajar mandiri.
Overprotective.
Tak sedikit orangtua yang takut bila anaknya yang berusia batita
melakukan hal-hal tertentu. Saat anak ingin naik-turun tangga sendiri,
kerap tidak diperbolehkan, bahkan langsung digendong. Akibatnya, anak
jadi penakut dan tak mampu mengontrol diri sendiri. Tak ada salahnya
memperbolehkan anak naik-turun tangga sendiri, tentunya dengan diawasi
dan dijaga oleh orangtua maupun pengasuhnya. Setiap anak mampu mengukur,
seberapa jauh ia dapat mengontrol diri sendiri. Saat berada di
ketinggian tertentu, anak mempunyai insting dasar untuk bertahan dan
tidak melompat. Biarkan anak melakukan hal yang diinginkannya, tetapi
tetap harus diawasi.
Kasih sayang yang berlebihan.
Apapun keinginan anak dipenuhi dan dilayani. Curahan kasih sayang
dengan menjadikan anak sebagai tuan kecil dalam rumah merupakan penyebab
anak menjadi tidak mandiri dan manja. Tetapi, tidak ada kata terlambat
untuk melatih anak menjadi mandiri. Asalkan ada kesempatan bagi anak
untuk menunjukkan perilaku mandirinya. Hanya saja, akan semakin sulit
manakala usia anak makin bertambah karena sebelumnya anak selalu
bergantung pada orangtua dan pengasuhnya. Anak akan menuntut untuk terus
dilayani, diperhatikan, hingga akhirnya sulit diubah.
Semoga sharing ini bermanfaat :)
0 comments:
Post a Comment