Dongeng dari India.
Tersebutlah di sebuah dusun di pinggir kota tingal sebuah keluarga.
Kepala keluarganya bernama Dheda. Dia tinggal bersama istrinya dan
ketiga anaknya. Mereka sangat miskin, hingga untuk makan sehari-hari
saja mereka sering kekuarangan. Maklumlah, Dheda hanya mengandalkan
hasilnya mencari kayu bakar di hutan yang kemudian dia jual ke pasar.
Hasilnya memang tidak seberapa. Tapi dari sanalah mereka bisa bertahan
hidup.
Namun sudah seminggu ini hujan terus menerus turun dengan lebatnya.
Dheda tidak bisa pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Mereka
terpaksa bertahan dengan persediaan makanan di gudang. Tentu saja
lama-lama persediaan mereka semakin sedikit, hingga suatu hari istri
Dheda menghampirinya.
“Ayah, saya khawatir dengan keadaan anak-anak kita. Kita tidak punya persediaan makanan lagi. Makanan yang tersisa hanya tinggal 5 butir kentang. Dan itupun tidak cukup untuk makan kita berlima. Kita harus segera mencari uang untuk membeli makanan!” katanya.
“Aku tahu…,” kata Dheda. “Tapi bagaimana lagi? Hujan tidak juga mau berhenti. Aku tidak bisa mencari kayu ke hutan. Bersabarlah bu! Mudah-mudahan besok hari terang dan aku bisa bekerja. Biarlah persediaan terakhir kita anak-anak saja yang makan.”
“Ayah, saya khawatir dengan keadaan anak-anak kita. Kita tidak punya persediaan makanan lagi. Makanan yang tersisa hanya tinggal 5 butir kentang. Dan itupun tidak cukup untuk makan kita berlima. Kita harus segera mencari uang untuk membeli makanan!” katanya.
“Aku tahu…,” kata Dheda. “Tapi bagaimana lagi? Hujan tidak juga mau berhenti. Aku tidak bisa mencari kayu ke hutan. Bersabarlah bu! Mudah-mudahan besok hari terang dan aku bisa bekerja. Biarlah persediaan terakhir kita anak-anak saja yang makan.”
Menjelang sore ada yang mengetuk pintu rumah Dheda. Ternyata seorang
pengemis tua yang basah kuyup berdiri di luar pintu rumahnya. Pengemis
itu tampak kedinginan. Dheda segera menyuruhnya masuk supaya terhindar
dari hujan.
“Terima kasih tuan,” kata pengemis tua, “saya sudah berhari-hari kehujanan. Tidak ada tempat untuk berteduh. Dan perutku lapar sekali. Kalau boleh, saya ingin meminta sisa makanan untuk mengganjal perutku.”
Dheda terdiam. Dia kasihan sekali melihat pengemis tua itu. Tapi mereka tidak punya persediaan makanan lagi.
“Sayang sekali aku tidak memiliki sisa makanan. Karena saat ini kami pun sedang kekurangan makanan,” kata Dheda.
“Oh kasihanilah saya Tuan! Sudah tiga hari ini saya belum makan,” kata pengemis
“Terima kasih tuan,” kata pengemis tua, “saya sudah berhari-hari kehujanan. Tidak ada tempat untuk berteduh. Dan perutku lapar sekali. Kalau boleh, saya ingin meminta sisa makanan untuk mengganjal perutku.”
Dheda terdiam. Dia kasihan sekali melihat pengemis tua itu. Tapi mereka tidak punya persediaan makanan lagi.
“Sayang sekali aku tidak memiliki sisa makanan. Karena saat ini kami pun sedang kekurangan makanan,” kata Dheda.
“Oh kasihanilah saya Tuan! Sudah tiga hari ini saya belum makan,” kata pengemis
Dheda merasa sangat iba, maka dia segera menghampiri istrinya dan
berkata, “Bu, saya kasihan melihat pengemis tua itu. Bagaimana kalau
kita berikan saja persediaan makanan terakhir kita. Mudah-mudahan
anak-anak bisa bertahan dan besok hujan berhenti sehingga aku bisa
bekerja mencari rizki.”
“Baiklah pak, saya akan segera memasak kentangnya,” kata istrinya
“Baiklah pak, saya akan segera memasak kentangnya,” kata istrinya
Akhirnya istri Dheda mengukus kentang yang tinggal 5 butir tersebut
dan menghidangkannya kepada si pengemis tua. Pengemis itu memakan
keempat kentangnya dan menyisakan sebutir kentang saja. Kemudian setelah
beristirahat sejenak, si pengemis itu pun berpamitan, “terima kasih
tuan. Karena tuan, hari ini perutku tidak kelaparan.”
“Sama-sama kek,” kata Dheda. “Sudah seharusnya kita saling menolong. Tapi kenapa kakek tidak menunggu hujan reda? Bagaimana kalau kakek sakit?”
“Tidak apa-apa! Perutku sudah terisi, jadi aku pasti kuat meski kehujanan,” katanya.
“Baiklah kalu begitu! Hati-hati di jalan ya kek!” kata Dheda.
“O ya, tadi aku menyisakan sebutir kentang di piring. Jika nanti kalian ingin makan. Iris-iris kentang itu menjadi 5 iris. Pasti akan cukup unuk kalian berlima. Nah selamat tinggal!” kata pengemis tua.
“Sama-sama kek,” kata Dheda. “Sudah seharusnya kita saling menolong. Tapi kenapa kakek tidak menunggu hujan reda? Bagaimana kalau kakek sakit?”
“Tidak apa-apa! Perutku sudah terisi, jadi aku pasti kuat meski kehujanan,” katanya.
“Baiklah kalu begitu! Hati-hati di jalan ya kek!” kata Dheda.
“O ya, tadi aku menyisakan sebutir kentang di piring. Jika nanti kalian ingin makan. Iris-iris kentang itu menjadi 5 iris. Pasti akan cukup unuk kalian berlima. Nah selamat tinggal!” kata pengemis tua.
Setelah kepergian pengemis tua itu, Dheda memandang satu butir
kentang yang tersisa di piring dan berpikir, “mana mungkin 1 butir
kentang ini bisa cukup untuk kami?” Namun karena penasaran, maka dia
mengajak keluarganya untuk berkumpul dan kemudian mengiris-iris kentang
itu menjadi 5 iris. Ajaib! Ternyata kelima iris kentang itu berubah
menjadi 5 butir kentang Dan jika 1 butir kentang itu diiris menjadi 5
iris lagi akan berubah menjadi 5 butir kentang lagi demikian seterusnya.
Alhasil Dheda dan keluarganya tidak kekurangan makanan, bahkan
persediaan makanan mereka sekarang berlimpah.
Dheda dan keluarganya
sangat bersyukur atas anugrah-Nya. Tidak lupa dia pun membagi-bagikannya
kepada tetangga-tetangga mereka yang kekurangan. Sayang, Dheda tidak
pernah bisa menemukan pengemis tua yang telah memberikan keajaiban bagi
keluarganya. Mereka hanya bisa mendoakan keselamatan baginya dan
berharap yang terbaik untuknya.
0 comments:
Post a Comment